Lebaran, istilah yang biasa disebut umat muslim di Indonesia setelah sebulan lamanya berpuasa ramadhan. Di Indonesia juga lebaran identik dengan arus mudik, mudik yang pada esensinya adalah pulang ke kampung halaman bagi mereka yang merantau ke kota orang untuk berkumpul bersama sanak saudara.
Tulisan ini ditulis setelah 24 kali lamanya penulis melakukan arus mudik, mulai dari tahun kelahiran hingga tahun ini 1435 H.
Setiap anak kecil bahagia ketika orang tuanya pergi mudik, karena dalam bayangannya ia akan bertemu saudara-saudaranya dan bermain bersama penuh canda tawa. Pun begitu dengan yang dirasakan orang tuanya, mereka bahagia dapat mengunjungi kampung halaman dan berkumpul dengan ayah bundanya untuk tetap menjalin silaturahim. Seperti halnya saya, dulu sangat senang ketika diajak mudik lebaran, saya dapat bermain bersama saudara dan pada hari raya saya merasa senang karena diberi uang oleh saudara. Sampai ketika orang tua melangkahkan kaki untuk pulang Cibubur untuk kembali melaksanakan rutinitas saya nangis, merasa bahwa kebahagiaan dalam keramaian mulai pergi menjauh.
Sampai hari ini di umur saya yang ke 24, di depan bukit tanpa penghuni saya menuliskan tulisan ini, tulisan yang bagi saya memiliki jutaan makna.
Lebaran kali ini saya melakaanakan mudik bersama keluarga dan saudara yang tidak lain adalah kakak kandung dari ibu saya, ditambah dengan tante ipar dan 4 orang anaknya yang masih balita. Ketika saya tanya, mereka sepakat menjawab ingin bermain dengan si A, si B atau siapalah yang berkesan bagi mereka di hari yang lalu. Hari demi hari berlalu sampai tiba di hari ini, hari dimana keluarga saya harus kembali dan saya ditinggal karena harus pulang beberapa hari kemudian. Saya melihat ketidak relaan saudara-saudara kecil saya untuk pulang, bahkan 2 diantara mereka tidak mau pulang. Dalam bayangan saya "dik, pulanglah, teman bermainmu sudah pulang, saya pun pernah merasakan apa yang kamu rasakan hari ini". Dengan raut wajah sedih mereka menaiki mobil untuk pulang bersama ayahnya, raut wajah mereka tidak dapat menutupi kesedihan yang mereka rasakan.
Begitupun yang ditinggali pulang, dulu waktu nenek masih hidup, saya melihat raut wajah sedih nenek melepas kepergian kami untuk kembali pulang. Sekarang paman kami yang lebih sering melepas kepergian pasca lebaran, karena paman kami yang menghuni rumah yang pernah dihuni oleh (Alm) nenek. Ketika mereka sudah pada pulang saya kembali bersama paman dan memasuki ruangan yang pagi tadi masih ramai oleh candaan saudara-saudara kecil. Sekarang, hanya sepi seperti biasa yang menemani.
Di sinilah letak keindahan itu, saya dapat merasakan kasih sayang keluarga, kasih sayang saudara serta kasih sayang teman-teman yang jarang bertemu. Jika setiap hari bertemu, akankah kebahagiaan selalu menemani? Pada hakikatnya setelah kebahagiaan pasti ada kesedihan, pun seperti itu sebaliknya. Jika saat ini kita masih ramai dikelilingi keluarga, maka pada saatnya kita pasti akan ditemani kesendirian.
Ya Allah, terima kasih atas kehidupan yang indah ini.