Asma'ul Husna

Laman

Wednesday, 21 December 2011

HUKUM WARIS ANAK ZINA DAN LI’AN


Pengertian Anak Zina


            Mengambil dari beberapa buku yang penulis baca diantaranya buku berjudul married by accident karya dari M. Iqbal Al-Haetami bahwasannya menurutnya: anak zina ialah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Sedangkan perkawinan yang di akui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974)[1]
Pada intinya beliau memaparkan bahwasannya yang dimaksud dengan anak zina ialah anak yang terlahir bukan karena pernikahan yang sah, melainkan dikarenakan hubungan di luar pernikahan. Senada dengan maksud di atas Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :

ولد الزنا هو المولود من غير نكاح شرعى ,أو ثمرة العلا قة الاثمة بين الرجل والمرأة

yang artinya Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki dan wanita.“

Dalam tulisannya tang berjudul Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Abdul Manan menjelaskan bahwa :
anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.[2]

Nasab Anak Zina


            Dalam warisan anak hasil perzinaan tidak mendapatkan warisan, karena tidak terhubung kepada laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkan anak tersebut, tetapi ia bisa mendapatkan warisan dari ibunya. Tsabit (ketetapan) nasab anak zina kepada ibunya dan tidak tsabit kepada bapaknya, jika kelahirannya kurang dari masa enam bulan dari masa pernikahan ibunya. Sedang sebab di mana seseorang mendapatkan warisan adalah salah satu dari tiga perkara berikut (1) Pernikahan yang sah, (2) Hubungan karena pernikahan, dan (3) Nasab/Keturunan.[3]
Imam 4 madzhab (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi itu bersuami ataupun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.[4]
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.[5]
Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut adalah seseorang yang memiliki suami atau dalam masa ‘iddah maka ulama sepakat bahwa nasab dari anak yang dikandung oleh wanita tersebut adalah anak dari suaminya, dan pengakuan seseorang atas anak tersebut tidak dapat diterima. Dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda Nabi SAW yang artinya : "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami) dan wanita pezina mendapatkan sanksi."

Pengertian Li'an



Arti li’an dalam bahasa ialah ‘kutukan’. Manakala menurut syara’ ialah persumpahan bagi suami mentsabitkan tuduhan zina kepada isterinya manakala istreri juga bersumpah untuk menafikan tuduhan tersebut.

Di dalam buku lain bahwasannya Prof. Dr. Ahmad Syarifuddin menyebutkan bahwa Li’an adalah sumpah yang diucapkan seorang suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan empat orang saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan di kali ke-lima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika sumpah yang aku lakukan adalah dusta“ dan sang isteri juga diberi kesempatan menolak li’an suaminya dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-lima diiringi dengan ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang dilakukan suamiku adalah benar.“ Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab pada ibunya.[6]


1. Li’an Suami


a.       Suami membuat tuduhan zina terhadap isterinya tanpa mengemukakan empat orang saksi.
b.      Tuduhan ini jika tidak dibuktikan dengan empat orang saksi boleh ditsabitkan sebagai tuduhan zina dengan hukuman 80 kali cambukan.
c.        Sebagai ganti empat orang saksi, suami boleh bersumpah dihadapan hakim di atas mimbar masjid dihadapan orang ramai, sekurang-kurangnya empat orang.
d.      Sumpahan suami ‘saya bersaksi dengan nama Allah SWT, bahwa sesungguhnya isteri saya (nama isteri) telah berzina dengan lelaki (nama lelaki) dan saya mengaku bahwa segala tuduhan ini adalah benar.
e.       Jika isterinya mengandung, suaminya tidak mengaku kandungan itu anaknya, maka ditambah lagi sumpahnya: ‘Dan anak yang di dalam kandungannya itu adalah anak zina, bukan anak dari pada saya’.
f.       Ucapan sumpah itu hendaknya diulang sebanyak empat kali sebagai ganti empat orang saksi untuk melepaskan diri daripada membuat tuduhan zina atau qadzaf.
g.      Kali kelima ditambah dengan sumpahnya: ‘atas diri saya laknat dan kemurkaan Allah SWT, apabila sekiranya tuduhan saya ini dusta’.
h.      Dengan li’an ini tertalaklah isteri untuk selama-lamanya.

2. Li’an Isteri

a.       Isteri menafikan tuduhan zina terhadapnya dengan bersumpah.
b.      Isteri hendaklah bersumpah untuk menolak segala tuduhan zina kepadanya.
c.       Sumpah isteri: ‘Saya bersaksi dengan nama Allah SWT, bahwa sesungguhnya suami saya (nama suami) adalah berdusta membuat tuduhan zina terhadap diri saya’.
d.      Ucapan sumpah itu hendaklah diulang sebanyak epat kali sebagai ganti untuk melepaskan diri dari pada tsabitan zina, yaitu rajam sampai mati.
e.       Kali kelima ditambah sumpahnya: ‘Atas diri saya laknat dan kemurkaan Allah SWT jika benar tuduhan zina terhadap diri saya itu’.
f.       Dengan li’an ini terpisahlah isteri dengan suaminya untuk selama-lamanya.[7]

Anak Li’an


Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :

وولد اللعان هو الذى يولد على فراش زوجية صحيحة ونفي الزوج نسبه منه وحكم القاضى بنفى نسبة من الزوج بعد وقع اللعان بين الزوجين

Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami isteri itu diambil sumpahnya (li’an).”

Dalam Al Qur’an Al Kariem dijelaskan bahwa :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِين وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِين وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِين

"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur 24: 6-9)

Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُون

"Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur 24: 4)

Behubungan dengan permasalahan di atas, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Sa'ad bin Ubadah selaku sesepuh orang Anshar berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya adalah apakah solusinya hanya seperti yang tertera pada surat An-Nuur ayat 4 diatas). Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab, "Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri) diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."

Tidak berselang lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal bin Umayyah kembali dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba. Pagi itu juga, Hilal menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku melihat dan mendengarnya sendiri." Mendengar cerita itu, Rasulullah tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."

Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa aku berkata jujur." Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah SAW ingin memberikan perintah agar Hilal didera, namun saat itu wahyu turun, yakni Surah An Nuur ayat : 6 – 9 tersebut.
Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, "Bergembiralah, hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."

Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat 6 – 9 dari surat An Nuur di atas.

Hak Waris Anak Zina dan Anak Li'an


Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut :




Pendapat Pertama Para Ulama’

Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i mereka berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat dari Ali. r. a

Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.

Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz VI, hlm.184)

Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6. Sebagai contoh, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris : ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya terputus.

Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.

Pendapat Kedua


Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."

Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya adalah ashabah ibunya."

Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi." Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah SAW, "Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."

Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.

Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.

Pendapat Ketiga


Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu. Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan Ibnu Sirin.

Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.

Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW, "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya." (HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)

Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya." Dengan demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap. Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.

Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah ke ibu.

Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan cara ashabah.

Status Warisan Anak Zina dan Li’an dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Di dalam pasal 186 KHI menyebutkan :
‘Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya’

Dalam pandangan Islam, apabila seseorang telah jelas memiliki adanya hubungan darah dengan ibu bapaknya, maka di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu penghalang dan selama syarat-syaratnya telah cukup sempurna, dan tak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang ibu.[8]

Dalam hal ini yang menjadi pandangan ialah hubungan darah si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti yang terjadi pada anak  dan li’an, hukum syara’ telah menetapkan bahwa kedua anak yang dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.

Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak di akui oleh agama), sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka ia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tidak ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan  darahnya dengan ibunya, maka ia mewarisi ibunya, sebagaimana di mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ayah dan ibunya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu dan dengan jalan radd.



[1] M. Iqbal Al-Haetami. Married By Accident, Qultum Media, Jakarta, 2004 Hlm. 86
[2] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana,  Jakarta, 2008, Hlm. 80
[3] Gus Arifin. Menikah Untuk Bahagia. Jakarta 2010. Hlm. 277
[4] al-Mabsut 17/154, Asy-Syarhu-kabir 3/412, al-Kharsyi 6/101, al-Qowanin hal.338, dan ar-Raudah 6/44. Dikutip dari Taisiril-Fiqh 2/828.
[5] Komite Fakultas Syari’ah Al Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi Publishing, Jakarta Cet. III 2011, hlm. 402
[6] Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta 2008
[7] Mustafa Embong. Focus Ace ‘Pendidikan Islam’. Hlm. 225-226
[8] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Penerbit Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm. 288

No comments:

Post a Comment