Pengertian Anak Zina
Mengambil
dari beberapa buku yang penulis baca diantaranya buku berjudul married by
accident karya dari M. Iqbal Al-Haetami bahwasannya menurutnya: anak zina
ialah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Sedangkan perkawinan
yang di akui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974)[1]
ولد الزنا هو المولود من غير نكاح شرعى ,أو ثمرة العلا قة الاثمة بين الرجل
والمرأة
yang artinya “Anak yang lahir karena
perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah
secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-laki
dan wanita.“
Dalam tulisannya tang berjudul Aneka Masalah Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Abdul Manan menjelaskan bahwa :
‘anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang
sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian diluar kawin adalah
hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan,
sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum
positif dan agama yang dipeluknya.’[2]
Nasab
Anak Zina
Dalam
warisan anak hasil perzinaan tidak mendapatkan warisan, karena tidak terhubung
kepada laki-laki yang menghamili perempuan yang melahirkan anak tersebut,
tetapi ia bisa mendapatkan warisan dari ibunya. Tsabit (ketetapan) nasab anak
zina kepada ibunya dan tidak tsabit kepada bapaknya, jika kelahirannya kurang
dari masa enam bulan dari masa pernikahan ibunya. Sedang sebab di mana
seseorang mendapatkan warisan adalah salah satu dari tiga perkara berikut (1)
Pernikahan yang sah, (2) Hubungan karena pernikahan, dan (3) Nasab/Keturunan.[3]
Imam 4 madzhab (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali) sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak
laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang
menzinahinya dan menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan
ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam
hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinahi itu bersuami ataupun tidak
bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.[4]
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu
Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan
zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada kenyataannya ia memang
berbuat zina dengan ibu si anak, sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada
ibunya. Penetapan itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat
mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia lakukan. Sebab,
orang yang tidak berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.[5]
Jika wanita yang melakukan perbuatan
zina tersebut adalah seseorang yang memiliki suami atau dalam masa ‘iddah
maka ulama sepakat bahwa nasab dari anak yang dikandung oleh wanita tersebut
adalah anak dari suaminya, dan pengakuan seseorang atas anak tersebut tidak
dapat diterima. Dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, yaitu sabda
Nabi SAW yang artinya : "Anak milik orang yang memiliki ranjang (suami)
dan wanita pezina mendapatkan sanksi."
Pengertian Li'an
Arti li’an dalam bahasa ialah ‘kutukan’. Manakala
menurut syara’ ialah persumpahan bagi suami mentsabitkan tuduhan zina kepada
isterinya manakala istreri juga bersumpah untuk menafikan tuduhan tersebut.
Di dalam buku lain bahwasannya Prof. Dr. Ahmad
Syarifuddin menyebutkan bahwa Li’an adalah sumpah yang diucapkan seorang
suami yang menuduh isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan empat orang
saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak empat kali dan
di kali ke-lima diiringi
dengan ucapan “laknat Allah atasku jika sumpah yang aku lakukan adalah
dusta“ dan sang isteri juga diberi kesempatan menolak li’an suaminya
dengan bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-lima diiringi dengan ucapan “laknat
Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang dilakukan suamiku adalah benar.“
Apabila kesaksian itu telah dilaksanakan, maka hakim akan menceraikan mereka,
menafikan ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu bernasab
pada ibunya.[6]
1. Li’an Suami
a. Suami membuat tuduhan zina terhadap
isterinya tanpa mengemukakan empat orang saksi.
b. Tuduhan ini jika tidak dibuktikan
dengan empat orang saksi boleh ditsabitkan sebagai tuduhan zina dengan hukuman
80 kali cambukan.
c. Sebagai ganti empat orang saksi, suami boleh
bersumpah dihadapan hakim di atas mimbar masjid dihadapan orang ramai,
sekurang-kurangnya empat orang.
d. Sumpahan suami ‘saya bersaksi dengan
nama Allah SWT, bahwa sesungguhnya isteri saya (nama isteri) telah berzina
dengan lelaki (nama lelaki) dan saya mengaku bahwa segala tuduhan ini adalah
benar.
e. Jika isterinya mengandung, suaminya
tidak mengaku kandungan itu anaknya, maka ditambah lagi sumpahnya: ‘Dan anak
yang di dalam kandungannya itu adalah anak zina, bukan anak dari pada saya’.
f. Ucapan sumpah itu hendaknya diulang
sebanyak empat kali sebagai ganti empat orang saksi untuk melepaskan diri
daripada membuat tuduhan zina atau qadzaf.
g. Kali kelima ditambah dengan
sumpahnya: ‘atas diri saya laknat dan kemurkaan Allah SWT, apabila sekiranya
tuduhan saya ini dusta’.
h. Dengan li’an ini tertalaklah isteri
untuk selama-lamanya.
2. Li’an Isteri
a. Isteri menafikan tuduhan zina
terhadapnya dengan bersumpah.
b. Isteri hendaklah bersumpah untuk
menolak segala tuduhan zina kepadanya.
c. Sumpah isteri: ‘Saya bersaksi dengan
nama Allah SWT, bahwa sesungguhnya suami saya (nama suami) adalah berdusta
membuat tuduhan zina terhadap diri saya’.
d. Ucapan sumpah itu hendaklah diulang
sebanyak epat kali sebagai ganti untuk melepaskan diri dari pada tsabitan zina,
yaitu rajam sampai mati.
e. Kali kelima ditambah sumpahnya:
‘Atas diri saya laknat dan kemurkaan Allah SWT jika benar tuduhan zina terhadap
diri saya itu’.
f. Dengan li’an ini terpisahlah isteri
dengan suaminya untuk selama-lamanya.[7]
Anak Li’an
Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits
fil-Fiqhil-Islami disebutkan :
وولد اللعان هو
الذى يولد على فراش زوجية صحيحة ونفي الزوج نسبه منه وحكم القاضى بنفى نسبة من
الزوج بعد وقع اللعان بين الزوجين
“Anak Li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan
suami isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai
keturunannya, dan qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari
nasab sang suami, setelah suami isteri itu diambil sumpahnya (li’an).”
Dalam Al Qur’an Al Kariem dijelaskan bahwa :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِين وَالْخَامِسَةُ أَنَّ
لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا
الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الْكَاذِبِين وَالْخَامِسَةَ أَنَّ
غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِين
"Orang-orang
yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar. (Sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang
berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas
nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar." (an-Nuur 24: 6-9)
Sebab turunnya ayat ini dan kekhususan hukum li'an kepada dua suami
istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh
wanita mukminah, yaitu firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُون
"Orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (an-Nuur 24: 4)
Behubungan dengan permasalahan di atas, dalam
sebuah riwayat diceritakan bahwa Sa'ad bin Ubadah selaku sesepuh orang Anshar
berkata, "Apakah hanya seperti ini, wahai Rasulullah? (maksudnya
adalah apakah solusinya hanya seperti yang tertera pada surat An-Nuur ayat 4
diatas). Rasulullah SAW bersabda, "Apakah kalian mendengar apa yang
diucapkan oleh sesepuh kalian, wahai kaum Anshar?" Mereka menjawab,
"Dia adalah manusia paling besar cemburunya. Demi Allah, dia hanya
menikah satu kali dengan perempuan perawan dan dia tidak pernah mencerai
istrinya. Dia lelaki paling berani menikahi perempuan perawan, karena
cemburunya yang demikian besar itu."
Kemudian Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, aku yakin
firman Allah itu benar, dan aku juga yakin ayat itu dari Allah. Namun, aku
hanya merasa heran, seandainya aku menemukan pergelangan tangan (istri)
diperkosa, aku tidak boleh berbuat apa-apa, tidak boleh membentak, dan tidak
boleh mengusirnya sampai aku dapat menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah,
jika aku menghadirkan mereka, pastilah pemerkosa itu telah memuaskan nafsunya."
Tidak berselang lama setelah kejadian itu, pada suatu sore, ketika Hilal
bin Umayyah kembali dari kampung halamannya, dia mendapati istrinya bersama
seorang laki-laki. Dia melihat dan mendengarnya sendiri, namun dia tidak
membentak atau mengusirnya sampai waktu pagi tiba. Pagi itu juga, Hilal menemui
Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, kemarin, ketika aku
pulang di sore hari, aku mendapati istriku bersama seorang laki-laki. Aku
melihat dan mendengarnya sendiri." Mendengar cerita itu, Rasulullah
tidak senang dan marah. Sa'ad bin Ubadah berkata, "Sekarang, Rasulullah
mendapat contoh langsung dari peristiwa Hilal bin Umayyah. Kesaksian Hilal pun
tidak dapat diterima oleh kaum muslimin."
Hilal berkata, "Aku berharap, Allah akan memberikan jalan keluar
untukku." Kemudian Hilal berkata kembali, "Ya Rasulullah, aku
mengerti engkau marah karena cerita yang aku sampaikan. Allah mengetahui bahwa
aku berkata jujur." Demi Allah, sesungguhnya, Rasulullah SAW ingin memberikan perintah agar
Hilal didera, namun saat itu wahyu turun, yakni Surah An Nuur ayat : 6 –
9 tersebut.
Setelah itu, Rasulullah SAW bersabda, "Bergembiralah,
hai Hilal, Allah telah memberikan jalan keluar dan kelapangan." Hilal
menyahut, "Sungguh, itulah yang aku harapkan dari Tuhanku."
Demikianlah asbabun nuzul turunnya ayat
6 – 9 dari surat An Nuur di atas.
Hak
Waris Anak Zina dan Anak Li'an
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk
anak yang lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat
para ulama fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut :
Pendapat Pertama
Para Ulama’
Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i mereka berpendapat
bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat ibunya, dan ibu
serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai dengan kaidah
waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat Zaid bin Tsabit
dalam satu riwayat dari Ali. r. a
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian tetap,
dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang berpendapat adanya
pengembalian (ar-radd). Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi
dari orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah
senasab berdasarkan al-ukhuwwah atau al-umumah.
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan hadits yang
diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'du sebagai dalil. "...Sunnah menetapkan
bahwa anak li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun dapat mewarisi
darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah." (Nail al-Authar, juz
VI, hlm.184)
Jumhur ulama juga mempunyai dalil yang menguatkan pendapat mereka bahwa
waris-mewarisi harus sesuai dengan ketetapan nash, dan tidak ada nash yang
menyatakan bahwa ibu boleh mewarisi lebih dari 1/3, demikian juga dengan
saudara seibu, tidak bisa mewarisi lebih dari 1/6. Sebagai contoh, seorang anak yang lahir karena
perbuatan zina atau li'an wafat, meninggalkan warisan berupa tanah
seluas 90 hektare dan meninggalkan ahli waris : ibu, ayah, paman dari pihak
ibu, dan ayahnya ibu. Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada
ibu, karena ia mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini
disebabkan paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil
arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya
terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an wafat
meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri mendapatkan
1/8, anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan tersebut. Sedangkan
saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia tidak dapat mewarisi ketika
ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.
Pendapat Kedua
Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa anak yang lahir karena perbuatan zina dan li'an dapat diwarisi
dengan cara ashabah. Ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau
mereka yang mewarisi dari ibunya. Sebagian orang berkata, "Jika
Anda ingin mengetahui ashabah anak li'an, lihatlah ashabah ibunya kalau
ibunya wafat. Itulah yang menjadi ashabah anak li'an."
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar pun berpendapat serupa
dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-ulama besar
dari kalangan tabi'in, seperti 'Atha, Mujahid, an-Nakha'i, dan asy-Sya'bi.
Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat demikian adalah
sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan mengenai hal ini, "Ashabah-nya
adalah ashabah ibunya."
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, "Ibu
mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan. Pembagian
tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan kerabatnya,
misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit mempunyai anak
laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan sesuai bagiannya dalam
masalah waris-mewarisi." Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda Rasulullah SAW,
"Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika ada sisa,
pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat."
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki yang paling
dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan kepada
ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab anak li'an
berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga ashabahnya dari
kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir karena
perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan dan
saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian tetapnya (fardh),
anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap, dan saudara seibu
mendapatkan sisa sebagai ashabah. Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari pihak
ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu mendapatkan 2/3
sebagai ashabah.
Pendapat Ketiga
Ahmad bin Hambal berpendapat
bahwa ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah
ibunya karena ibu bagi mereka sama seperti kedua orang tua, yakni ayah dan ibu.
Jika tidak ada ibu, ashabah-nya adalah mereka yang menjadi ashabah ibu.
Pendapat ini juga disampaikan oleh beberapa tabi'in, di antaranya Hasan dan
Ibnu Sirin.
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan
mazhab sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li'an
dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi ashabah
ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya (fardh) dan
sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang menjadi ashabah
ibunya sebagai ashabah anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan
zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika ibu ada, ibulah yang
menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu akan mengambil seluruh
harta warisan anak li'an dan anak yang lahir karena perbuatan zina.
Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat seperti ini adalah sabda
Rasulullah SAW, "Perempuan menguasai tiga warisan, warisan budak yang
dimerdekakannya, barang yang ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya."
(HR Abu Daud, Turmudzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kalau ibu mewarisi dari budak yang dimerdekakannya dengan cara ashabah, ibu
pun mewarisi dari anak li'an-nya dengan cara ashabah juga, karena ibu
sama derajatnya dengan ayah dan ibu si anak li'an. Sebagai bukti, Ibnu Abbas
pernah berkata, "Ibu anak li'an adalah ayah dan ibunya." Dengan
demikian, jika seorang anak li'an wafat meninggalkan istri, ibu, dan
saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap, dan
ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan sekaligus sebagai
ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4 sebagai bagian tetap dan
saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai ashabah dan bagian tetap. Jika ia wafat,
meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-laki dari saudara perempuan
seibu, maka saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari
saudara perempuan seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah. Cara pembagian yang
demikian sesuai dengan dua pendapat tersebut.
Setelah kita memaparkan beberapa pendapat ulama fiqih di atas, tampaklah
bagi kita bahwa pendapat ketiga lebih kuat dan dapat diterima, karena memang
asal nasab itu dari ayah. Apabila nasab dari pihak ayah terputus, maka secara
otomatis seluruh nasabnya berpindah ke ibu, sebagaimana asal ketaatan itu untuk
orang yang memerdekakan ayah, kalau ayah budak. Ketaatan dapat kembali
berpindah ke ayah sebagai asal, jika ayah dimerdekakan setelah ketaatan pindah
ke ibu.
Mazhab ini merupakan mazhab Abdullah
ibnu Mas'ud, Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih. Ibnul Qayyim
berkata, “Berdasarkan pendapat di atas, Al-Qur'an telah menunjukkan dengan
isyarat yang sangat indah dan halus. Allah menjadikan Isa dari anak-cucu
Ibrahim lewat perantara Maryam, ibunya. Maryam pun berasal dari anak cucu
Ibrahim. Jika ada yang bertanya, 'Kemudian, bagaimana dengan riwayat dari Sahl
yang menjelaskan bahwa Sunnah yang berlaku adalah anak yang lahir karena
perbuatan zina dan li'an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya dapat mewarisi
darinya sesuai bagian yang telah ditetapkan Allah?' Kita jawab, 'Kita terima
itu karena ketika ibu menjadi ashabah, tidak menggugurkan bagian yang telah
ditetapkan Allah. Sesungguhnya, ibu anak itu seperti ayah, yang terkadang dapat
mewarisi bagian tetap dan terkadang mewarisi bagian ashabah. Ibu pasti
mengambil bagian tetap-nya, dan jika ada sisa, ia dapat mengambilnya dengan
cara ashabah.
Status Warisan Anak Zina dan Li’an dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
Di dalam pasal 186 KHI menyebutkan
:
‘Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan
keluarga dari pihak ibunya’
Dalam pandangan Islam, apabila
seseorang telah jelas memiliki adanya hubungan darah dengan ibu bapaknya, maka
di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu
penghalang dan selama syarat-syaratnya telah cukup sempurna, dan tak dapat
seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang
ibu.[8]
Dalam hal ini yang menjadi pandangan ialah hubungan darah
si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti yang terjadi pada
anak dan li’an, hukum syara’
telah menetapkan bahwa kedua anak yang dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya
dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada
hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.
[1] M. Iqbal Al-Haetami. Married By Accident,
Qultum Media, Jakarta, 2004 Hlm. 86
[2] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008, Hlm. 80
[3] Gus Arifin. Menikah Untuk Bahagia. Jakarta
2010. Hlm. 277
[4] al-Mabsut 17/154,
Asy-Syarhu-kabir 3/412, al-Kharsyi 6/101, al-Qowanin hal.338, dan ar-Raudah
6/44. Dikutip dari Taisiril-Fiqh 2/828.
[5] Komite Fakultas Syari’ah Al Azhar, Hukum Waris,
Penerbit Senayan Abadi Publishing, Jakarta Cet. III 2011, hlm. 402
[7] Mustafa Embong. Focus Ace ‘Pendidikan Islam’.
Hlm. 225-226
[8] Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Penerbit Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997, hlm.
288
No comments:
Post a Comment