Asma'ul Husna

Laman

Saturday, 8 December 2012

MELANGKAH DALAM BADAI



Dulu, aku hanya anak kecil yang tidak memiliki apa-apa, faktor lingkungan menjadikan kenakalan sebagai sifat yang paling dominan dalam diri ini. Walaupun pendidikan keras yang diberikan keluarga untuk selalu berbuat baik dan mentaati Islam sebagai agamaku, itu semua belum cukup untuk menyadarkanku, sehingga
dikemudian hari aku merasa diasingkan dan merasa terbuang karena harus jauh dari keluarga sejak lulus SD.


Fikiran pragmatis pada saat itu mengatakan bahwa aku adalah buangan, yang harus hidup diatur orang lain dan harus taat pada siapapun. Di sanalah ‘mungkin’ bisa dikatakan awal kehancuran dari hidupku. Awal dari segala keurukan yang ada dalam diriku, diri pembangkang, pemberontak serta diri yang selalu ingin menang di setiap suasana.
Sampai pada suatu saat aku harus meninggalkan tempat tersebut karena suatu hal. Hari semakin berlalu dan umurpun semakin terkikis oleh lewatnya hembusan nafas. Bukan perubahan menjadi lebih baik yang kurasakan ketika harus tinggal lebih jauh dari keluarga. Bahkan, aku semakin merasa bebas, merasa tidak ada intervensi apapun dari orang tua dan parahnya lagi seringkali tidak mengindahkan nasihat yang diberikan keluarga melalui telefon atau sarana lainnya, kerjaanku hanya menghabiskan harta untuk sesuatu yang tidak tau arah manfaatnya.

Waktu berlalu bagaikan badai, aku merasa tersesat di dalamnya, tidak tahu harus melakukan apa untuk tetap bertahan. Sehingga pada suatu masa, di mana aku tertimpa masalah besar, yang menurutku sangat besar, hingga membuat diri ini ketakutan untuk tetap menjalani hidup ini. Di sana kesadaran mulai tumbuh, kesadaran akan kepentingan dari hidup yang aku jalani, kesadaran untuk dapat saling menghargai, kesadaran memaksimalkan potensi diri. Alhamdulilah saat itu, mimpi mulai datang, angan-angan indah selalu menemani dan harapan yang diiringi goresan senyum di wajah pun semakin terang terlihat.

Paradigma sedikit bergeser ke arah yang menurutku lebih baik, aku mulai berusaha untuk mendengarkan orang lain, berusaha untuk dapat mengambil pelajaran di setiap kesempatan dan selalu berusaha untuk memaksimalkan potensi diri. Sampai pada akhirnya aku ‘over’ melewati batas kewajaran, aku ingin mengambil semua yang ada, bisa atas segala sesuatu, dan ambisipun berlipat ratusan persen dari diriku. Sehingga menjadikan diri ini hyper active dan berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik dan pastinya mendapat apresiasi dari orang lain.

Akan tetapi, perlahan aku mulai sadar, aku tidak berada dalam posisi fitrah manusia yang diberikajn oleh Allah SWT, aku terlalu keasyikan dengan ambisi serta mimpi-mimpiku tanpa memperhatikan perhatian orang lain terhadapku. Sehingga timbul rasa dala qolbu ini bahwa aku sombong, sok tau dan egois. Manusia pragmatis yang tinggal menunggu saat kehancuran bagi dirinya. Na’udzubillah.

Oleh karenanya terbesit dalam diri ini untuk duduk merenung, bermuhasabah atas segala sesuatu yang ada dalam diri ini, memperbaiki komponen-komponen sifat yang sudah terlihat rusak dan berusaha untuk selalu tawadhu atas apa-apa yang ada.

Pernah berfikir untuk mundur dari segala aktivitas yang ada, mundur dari organisasi-organisasi yang aku berkecimpung di dalamnya, semacam Forum Remaja Pengembangan Masyarakat (FRPM), Forum Silaturahin Ekonomi Islam (FoSSEI), Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI), Ikatan Alumni Sharia Economist Training 2012 dan mundur dari klub Jurnalistik Madina Tazkia. Karena aku berfikir, di dalam sana pastinya akan semakin banyak kata-kata serta kalimat yang keluar dari mulut ini, kalimat yang mana belum bisam dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Dan bertambahlah dosa yang mengalir atas perbuatan tersebut.

Tetapi hati kecil juga memiliki pendapat lain, ia mengatakan bahwa jika aku langsung mundur dan tidak melakukan apa-apa sama saja meninggalkan amanah, pergi dari jalan dakwah dan semakin menjauh dari rahmat Illahi robbi. Na’udzubillah, lalu akan diletakan di mana ruh ini ketika diakhirat kelak.

Oleh karenanya aku mengambil keputusan -dengan mengacu kepada mereka, orang-orang yang pernah terpuruk lalu bangkit kembali- untuk dapat bersabar mengambil hikmah dibalik segalanya, untuk berusaha merubah diri, menjadikan diam sebagai sarana muhasabah kepada sang Maha Pencipta dan menjadikan silaturahim sebagai ajang mendakwahkan nilai-nilai agama, mendominankan berbuat baik daripada harus berkata-kata,belajar mendengar serta berusaha untuk selalu dekat dengan pemilik alam semesta.

Karena dalam hati ini selalu berkata ‘kamu harus melangkah di dalam badai, jadikan segala fikiran buruk adalah hiasan hidup menuju arah yang lebih baik’. Bismillahi lillahi ta’ala. Insya Allah.

No comments:

Post a Comment