Dulu,
aku hanya anak kecil yang tidak memiliki apa-apa, faktor lingkungan menjadikan
kenakalan sebagai sifat yang paling dominan dalam diri ini. Walaupun pendidikan
keras yang diberikan keluarga untuk selalu berbuat baik dan mentaati Islam
sebagai agamaku, itu semua belum cukup untuk menyadarkanku, sehingga
dikemudian
hari aku merasa diasingkan dan merasa terbuang karena harus jauh dari keluarga
sejak lulus SD.
Fikiran pragmatis pada saat itu mengatakan bahwa aku adalah
buangan, yang harus hidup diatur orang lain dan harus taat pada siapapun. Di sanalah
‘mungkin’ bisa dikatakan awal kehancuran dari hidupku. Awal dari segala
keurukan yang ada dalam diriku, diri pembangkang, pemberontak serta diri yang
selalu ingin menang di setiap suasana.
Sampai
pada suatu saat aku harus meninggalkan tempat tersebut karena suatu hal. Hari semakin
berlalu dan umurpun semakin terkikis oleh lewatnya hembusan nafas. Bukan perubahan
menjadi lebih baik yang kurasakan ketika harus tinggal lebih jauh dari
keluarga. Bahkan, aku semakin merasa bebas, merasa tidak ada intervensi apapun
dari orang tua dan parahnya lagi seringkali tidak mengindahkan nasihat yang
diberikan keluarga melalui telefon atau sarana lainnya, kerjaanku hanya
menghabiskan harta untuk sesuatu yang tidak tau arah manfaatnya.
Waktu
berlalu bagaikan badai, aku merasa tersesat di dalamnya, tidak tahu harus melakukan
apa untuk tetap bertahan. Sehingga pada suatu masa, di mana aku tertimpa
masalah besar, yang menurutku sangat besar, hingga membuat diri ini ketakutan
untuk tetap menjalani hidup ini. Di sana kesadaran mulai tumbuh, kesadaran akan
kepentingan dari hidup yang aku jalani, kesadaran untuk dapat saling
menghargai, kesadaran memaksimalkan potensi diri. Alhamdulilah saat itu, mimpi
mulai datang, angan-angan indah selalu menemani dan harapan yang diiringi
goresan senyum di wajah pun semakin terang terlihat.
Paradigma
sedikit bergeser ke arah yang menurutku lebih baik, aku mulai berusaha untuk
mendengarkan orang lain, berusaha untuk dapat mengambil pelajaran di setiap
kesempatan dan selalu berusaha untuk memaksimalkan potensi diri. Sampai pada
akhirnya aku ‘over’ melewati batas kewajaran, aku ingin mengambil semua yang
ada, bisa atas segala sesuatu, dan ambisipun berlipat ratusan persen dari
diriku. Sehingga menjadikan diri ini hyper active dan berusaha untuk
selalu menjadi yang terbaik dan pastinya mendapat apresiasi dari orang lain.
Akan
tetapi, perlahan aku mulai sadar, aku tidak berada dalam posisi fitrah manusia
yang diberikajn oleh Allah SWT, aku terlalu keasyikan dengan ambisi serta
mimpi-mimpiku tanpa memperhatikan perhatian orang lain terhadapku. Sehingga timbul
rasa dala qolbu ini bahwa aku sombong, sok tau dan egois. Manusia pragmatis
yang tinggal menunggu saat kehancuran bagi dirinya. Na’udzubillah.
Oleh
karenanya terbesit dalam diri ini untuk duduk merenung, bermuhasabah atas
segala sesuatu yang ada dalam diri ini, memperbaiki komponen-komponen sifat
yang sudah terlihat rusak dan berusaha untuk selalu tawadhu atas apa-apa yang
ada.
Pernah
berfikir untuk mundur dari segala aktivitas yang ada, mundur dari organisasi-organisasi
yang aku berkecimpung di dalamnya, semacam Forum Remaja Pengembangan Masyarakat
(FRPM), Forum Silaturahin Ekonomi Islam (FoSSEI), Kelompok Studi Ekonomi Islam
(KSEI), Ikatan Alumni Sharia Economist Training 2012 dan mundur dari klub
Jurnalistik Madina Tazkia. Karena aku berfikir, di dalam sana pastinya akan
semakin banyak kata-kata serta kalimat yang keluar dari mulut ini, kalimat yang
mana belum bisam dipertanggungjawabkan sepenuhnya. Dan bertambahlah dosa yang
mengalir atas perbuatan tersebut.
Tetapi
hati kecil juga memiliki pendapat lain, ia mengatakan bahwa jika aku langsung
mundur dan tidak melakukan apa-apa sama saja meninggalkan amanah, pergi dari
jalan dakwah dan semakin menjauh dari rahmat Illahi robbi. Na’udzubillah, lalu
akan diletakan di mana ruh ini ketika diakhirat kelak.
Oleh
karenanya aku mengambil keputusan -dengan mengacu kepada mereka, orang-orang
yang pernah terpuruk lalu bangkit kembali- untuk dapat bersabar mengambil
hikmah dibalik segalanya, untuk berusaha merubah diri, menjadikan diam sebagai
sarana muhasabah kepada sang Maha Pencipta dan menjadikan silaturahim sebagai
ajang mendakwahkan nilai-nilai agama, mendominankan berbuat baik daripada harus
berkata-kata,belajar mendengar serta berusaha untuk selalu dekat dengan pemilik
alam semesta.
Karena
dalam hati ini selalu berkata ‘kamu harus melangkah di dalam badai, jadikan
segala fikiran buruk adalah hiasan hidup menuju arah yang lebih baik’. Bismillahi
lillahi ta’ala. Insya Allah.
No comments:
Post a Comment