Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili (1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim
adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan
diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian,
kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum
diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar
laut, minyak di perut bumi, dan lainnya
Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan,
kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim,
harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan
darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa
menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini
menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim
atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk
menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut
termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk
menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus
tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan
bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi
muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Impilikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair
mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal
al mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah
adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya. Untuk
ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka transaksinya rusak
atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwim sebagai obyek transaksi merupakan
syarat sahnya sebuah transaksi.
Adanya kewajiban untuk
menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka
harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus diganti semisalnya, namun
tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya.
Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka
tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup
dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya
dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan
al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh
Hanafiyah
'Iqar dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang
memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya,
baik bentu fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya
perpindahan tersebut. Diantaranya adalah
uang, harta perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat
ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah
dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian,
tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan
sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan
bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman
dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan
harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah,
sedangkan manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung mempersempit
makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul
adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat
ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti
kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara
asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin
dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti
pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta
'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan
harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah
menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun
barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah
berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan
terdapat beberapa implikasi hukum sebagai berikut
Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul
tidak terdapat di dalamnya, kecuali harta manqul tersebut menempel pada harta
'iqar.
Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk diwaqafkan adalah
harta 'iqar. Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap harta
'iqar, seperti mewaqafkan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu
yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi
obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda
dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan
sebagai obyek waqaf.
Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada
dalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti
untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang
bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diprioritaskan untuk
dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi
pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh
ditransaksikan, walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul,
ia tidak bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan
terjadinya kerusakan sangat besar.
Mitsli dan Qimi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran,
tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau
kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian:
- Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandum, terigu, beras;
- Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga;
- Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya;
- Al dzira'iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah
Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di
pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda,
seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari
fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu
dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang
memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi
atau sebaliknya;
Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi
kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis
yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobil tersebut menjadi
harta qimi,
Jika harta qimi terdapat banyak padanannya di pasaran, maka secara
otomatis menjadi harta mitsli.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi
sebagai berikut;
Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya
dengan menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi
tsaman. Jika harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka harus
disebutkan secara detail, karena hal itu akan mempengaruhi nilai yang
dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya dengan
domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan sifatnya sama.
Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan
padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.
Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan
keinginanya, walaupun tanpa izin dari
pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun mungkin jenisnya sama, tapi
nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orang
yang berserikat.
Harta mitsli rentan dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara
diantara harta mitsli, dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas,
dan kadarnya, maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimi yang
relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapa tperbedaan, maka
tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
Istikhlaki dan Isti'mali
Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan
kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan
dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan
makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk
fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan
manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan
membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari saku dan genggaman sang
pemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi
milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih
tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi
sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin bisa dimanfaatkan
tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan,
kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali
bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.
Implikasi hukum
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak
bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta
isti'mali bisa digunakan sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua
harta tersebut bisa dijadikan sebagai obyek jual beli atau titipan.
No comments:
Post a Comment