Asma'ul Husna

Laman

Thursday 23 May 2013

Menjaga Agama Untuk Mencegah Serangan Multikultural

Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.


Lebih jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008:15).

Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” – selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. (Diterbitkan dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).

Penanaman paham multikulturalisme khususnya dalam ranah Pendidikan Agama Islam sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang  mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:

1.      Multikulturalisme memiliki rentang definisi yang beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan relativisme kebenaran dan relativisme agama.
2.      Konsep multikulturalisme mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is the only genuine revealed religion.” (al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam)
3.      Kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits), konsep truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.
4.      Kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. (Choirul Mahfud, 2009: 95).
5.      Agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi. (Nuryadin, 2012)

Pendidikan multikulturalisme yang diwacanakan menjadi bagian yang terintegrasi dalam pedidikan modern ini dengan mengacu kepada lima poin di atas sejatinya perlu menjadi kajian tersendiri, memperhatikan aspek-aspek yang terkandung di dalamnya guna tetap menjaga nilai-nilai Islam demi penjagaannya agar tidak semakin memudar secara perlahan.

No comments:

Post a Comment