Asma'ul Husna

Laman

Sunday 29 June 2014

Kala Sang Surya Hampir Tenggelam


Sore itu ketika ku mendapatkan jatah libur satu pekan kukayuhkan sepeda tuaku menuju rumah ayah, rumah yang tidak jauh dari tempatku tinggal, rumah yang selama ini menjadi tempat persinggahan kala hatiku gundah, rumah usang yang sebenarnya sudah tidak layak huni.


Aku tidak mengeluh atas keadaan tempat tinggal ayah, karena selama ini aku selalu disibukkan oleh urusan-urusan yang kumiliki, urusan dunia untuk kepentinganku, untuk kebahagiaan masa depanku. Ya, masa depanku.

Jalan berlubang yang aku telusuri terasa sangat mengganggu, kubangan air serasa bak kolam menjijikan yang tidak ingin aku melihatnya. Karena tidak jarang kubangan itu yang membuatku harus bersih-bersih karena cipratan yang menempel hampir disekujur kaki ku.

Tiba ku melewati lapangan sepak bola penuh rerumputan yang tak beraturan, tiba-tiba lewatlah bola hasil tendangan melenceng dari anak-anak desa yang sedang berlarian bermain tanpa arahan pelatih. Aku terdiam, sesaat merasakan bayangan masa lalu memenuhi hampir setiap sudut isi fikiranku.

Gumamku dalam hati, indahnya masa itu, masa dimana aku berlarian bebas tanpa patokan arah, masa dimana aku masih dapat tertawa lepas tanpa kekhawatiran dalam dada akan masa depan, masa dimana aku berkumpul bermain bersama teman-teman walau tidak jarang omelan ibuku selalu datang.

Tidak seperti sekarang, sekarang aku selalu disibukan oleh rutinitasku, rutinitas yang seringkali menyita waktu bahagiaku bersama keluarga, rutinitas yang mematikan langkahku untuk berjalan menuju sahabat lamaku, rutinitas yang aku harus mengejarnya demi jaminan masa depan. Saat ini aku lebih sering mengeluh atas diriku sendiri, sampai-sampai urusan lainnya jarang kuperhatikan, mengeluh jika bayaran atas usahaku terlambat masuk kantong, mengeluh ketika atasanku memarahiku, mengeluh karena aku merasa terkurung oleh ruang dan waktu.

Ah, tiba saatnya keluhan menjadi sebuah kebosanan. Pesan ibu sebelum aku memutuskan bekerja dulu muncul ikut meramaikan obrolan yang terjadi difikiranku. Nak, kerjakan apapun yang kamu cintai, dengan syarat harus mengandung hal positif. Namun, apabila kamu tidak mendapatkan perkerjaan yang kamu cintai, berusahalah mencintai pekerjaan yang ada, karena kebahagiaan itu bukan untuk ditunggu, melainkan diciptakan. Sekecil apapun pendapatanmu kelak, sesederhana apapun tempat tinggalmu kelak itu akan sangat menyenangkan ketika kebahagiaan sudah tertanam dalam hati.

Kalimat ibu yang datang melukiskan senyuman optimis pada bibirku, bersama dengan keluarnya semangat aku kembalikan bola itu ke kerumunan anak-anak untuk kebahagiaan mereka bermain, kukayuhkan kembali sepedaku dengan wajah ceria, sang surya pun menemani keceriaanku untuk tetap menjalani kehidupanku dengan senang hati.

(Catatan Kecil @Rikza_Adhia90 )

No comments:

Post a Comment