Asma'ul Husna

Laman

Sunday 13 April 2014

Etika Usaha: Sikap Ramah

Siang ini hawa di Sentul kurang bersahabat. Terik matahari begitu menyengat kulit dan menyilaukan mata. Saya memutuskan untuk keluar membeli minuman dingin guna melepaskan sedikit dahaga. Bersama seorang teman saya menyusuri jalanan Sentul menggunakan sepeda motor menuju ke arah Babakan Madang, tempat dimana para pedagang menjajakkan dagangannya.


Kami memilih untuk membeli Es Candil, es kesukaan saya waktu SD dulu, es legendaris yang sekarang harganya mencapai angka di atas lima ribu rupiah, padahal dulu tiga ratus rupiah saja sudah sangat banyak. Ya tiga ratus rupiah, yang entah saat ini dapat apa dengan uang sebanyak itu.

Sebenarnya saya tidak ingin membicarakan es kesukaan saya ini, saya ingin menceritakan kisah yang terjadi ketika saya menunggu pesanan saya dibuatkan. Warung yang saya kunjungi adalah warung kecil yang dibuat di garasi rumah dengan tata letak dagangan seperti sedikit 'dipaksakan', kurang enak dipandang sebenarnya. Namun ya itu, karena saya suka es candil maka tidak ada pilihan untuk membelinya selain di tempat itu. 

Usut punya usut pedagang tersebut adalah sepasang suami istri yang tinggal di rumah itu. Dengan kemampuan finansial yang minim mereka berusaha untuk tetap dapat bertahan hidup dengan berjualan. Produk yang mereka tawarkan hampir sama seperti warung-warung disekitarnya, peralatan dan makanan instan sehari-hari dengan tambahan berjualan es dan jasa laundry. Saya merasa iba memperhatikan kondisi persaingan usaha disekitar situ. Bagaimana bisa pedagang dengan dagangan yang apa adanya dapat terus "survive" menghadapi aktivitas usaha yang terjadi. Saya segera membuang perasaan iba tersebut, saya merasa pasti masih ada yang mau membeli ditempat itu. Buktinya saya masih menyempatkan diri untuk membeli dagangannya, dengan kata lain pasti ada juga orang lain yang membeli di tempat ini.

Siang tadi bertepatan dengan datangnya stok beras yang mulai habis, saya bertanya "pak, ini nyetok beras biasanya habis dalam berapa hari?" Dengan melihat tumpukan beras yang kurang lebih mencapai 15 karung. Beliau menjawab "normalnya satu minggu, kadang juga kurang satu minggu". "wah termasuk cepat ya pak". "ya standar, ini juga saya nyetoknya sedikit dibanding yang lainnya, tapi alhamdulillah lancar". Dalam hati, dengan pendapatan yang seadanya dibanding warung lainnya beliau masih menyempatkan diri untuk bersyukur. Keren!!!.

Berhubung pesanan saya banyak karena banyak yang nitip juga makanya agak lama selesainya. ketika penyetok beras sudah selesai menumpukan karung dipojok ruangan mereka pamit setelah selesai menerima pembayaran dari istri pedagang. ketika hendak penyetok ini hendak pulang, bapak yang melayani pesanan saya memanggilnya, "a ntar dulu, ini sedang disiapkan minuman". Saya terdiam seketika seraya berujar, ramah sekali orang ini. Jarang ada pedagang yang ramah terhadap para karyawan yang mengantarkan produk, biasanya mereka langsung dipersilahkan pulang. Mungkin ada juga yang lebih ramah, tapi kebanyakan mereka yang ramah adalah mereka yang memiliki kekuatan finansial dalam dagangannya.

Saya mendo'akan semoga dagangannya selalu laris, dilancarkan usahanya dan tetap ramah jika Allah menakdirkan mereka untuk menjadi orang kaya. Terima kasih pak atas pelajaran keramahannya siang ini :)


No comments:

Post a Comment