Asma'ul Husna

Laman

Tuesday 12 November 2013

SEJARAH DAN PERAN PESANTREN


Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren" (Paramadina-Jakarta, 1997), menyebut bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi. 


Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur. Yakni santri, pondok atau asrama tempat tinggal para santri, serta kiai atau pimpinan pesantren tersebut. Dalam tradisi, kiai adalah pusat dari kehidupan pesantren. Kiai juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Baik dalam intelektualitas, religiositas, maupun sosial. Maka pesantren dan kiai mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa ini.

Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali -diantaranya kemudian disebut wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan. 

Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu Ireng - Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. 

Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" seperti Pondok Gontor - Ponorogo. Alur 'moderen' ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka. 

Setelah Indonesia merdeka, kalangan 'moderen' ini sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di pemerintahan. Bukan hanya Mukti Ali di lingkup Departemen Agama. Namun juga M. Natsir yang pernah menjadi perdana menteri, serta Syafrudin Prawiranegara yang sempat menjadi perancang ekonomi nasional maupun perdana menteri. 

Peran tokoh-tokoh dari pesantren yang lebih murni, lebih dari setengah abad terbatasi di lingkup keagamaan. Sejak KH Wahid Hasyim -putra Hadratus Syeikh-- hingga KH Syaifuddin Zuhri menempati posisi Menteri Agama. Reformasi politik Indonesia 1998-1999 ikut membongkar sekat tersebut. KH Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada 1999, adalah "orang pesantren".

No comments:

Post a Comment